Sapu tangan yang lusuh
Malam bintang terang. Namun, cahaya itu tidak seterang kasih seorang ibu.
Kasihnya tidak akan pernah usai sepanjang hayat kepada anak-anaknya.
Ibu saya sehari-hari adalah seorang penjaga kantin di sebuah SMP swasta di
Bekasi. Dia juga membuat nasi uduk dan kue yang dititipkan di kantin dan
warung-warung lain. Bangun pukul setengah empat pagi, baru beranjak ke peraduan
pukul sebelas malam. Begitu terus, hidupnya dijalani tanpa mengeluh.
Penghasilan bapak yang tidak seberapa ditopang oleh hasil jualan ibu.
Itulah yang menjadi kebanggaan saya terhadap sosok bunda. Gurat wajahnya yang
telah mengerut menampakkan bahwa dia terlampau akrab dengan kerja kerasnya.
Tangannya dipenuhi otot yang tampak ramah.
Jarang saya melihat dia pakai bedak, apalagi make-up. Seumur-umur, saya baru
melihat bunda pakai make-up pada saat saya sudah beranjak dewasa. Itu pun pada
saat saya diwisuda bersama ribuan wisudawan Unesa di Islamic Center,
Setelah itu, kami sudah jarang bertemu. Saya memilih untuk menetap di
Meretas cinta itu tak pernah habis. Itulah ibu. Ketika berjanji untuk
memperkenalkan calon pendamping hidup saya, saya berkesempatan bertemu dengan
ibu lagi di
Beliau memberi sapu tangan kain lusuh kepada saya. Sampai di situ, saya masih
belum mengerti makna yang tersingkap dari pemberian tersebut.
Bunda bilang bahwa sapu tangan itulah yang dia gunakan untuk mengompres saya
saat mengalami kecelakaan motor yang membuat kaki saya patah pada 31 Desember
1998.
Setelah saya harus berpisah dengan orang tua pada akhir Agustus 1999 untuk
kuliah di
Kesibukan menjalani hari-hari pada masa kuliah seolah membuat saya menjadi
jarang berkomunikasi dengan keluarga di Bekasi. Namun tidak dengan bunda. Sapu
tangan itu tetap dia simpan untuk memendam kangennya pada saya. Hanya, saya
sama sekali tidak menyangka sampai seperti itu. Saya sendiri baru tahu dua
minggu lalu, saat memperkenalkan pujaan hati.
Setelah berkisah, bunda memberikan sapu tangan itu kepada saya dan merestui
hubungan kami. Saya seakan tidak bisa berkata sepatah kata pun. Lidah ini
terasa kaku. Hati bergetar karena terharu.
Bagaimana mungkin bahwa sapu tangan yang sudah lusuh itu masih disimpan sekian
tahun hanya untuk memendam kangen pada anaknya?
Bukan kata-kata, tapi dengan sapu tangan lusuh itulah bunda menohok saya dengan
cinta yang sederhana. Cinta tulus yang tak pernah berharap balasan dari siapa
maupun anaknya sendiri sekalipun. Bintang itu terang.
Lewat sapu tangan lusuh tersebut, zaman boleh berubah. Tapi, cinta dan
kerinduan seorang ibu tak bisa digerus waktu. Ia ada sampai kapan pun. Tak bisa
dibalas dengan apa pun.