Jalan kebahagiaan
Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya di
atas meja buku,
Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar kebutuhanku.
Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktu
senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk kalau sempat,
setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat.
Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit, misalnya
dengarkan aku, jangan memberi komentar.
Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa
dirinya akan tampak seperti orang bodoh.
Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.
Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada saya,
kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurut sampai tuntas,
demikian juga ketika salah jalan.
Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh lebih
santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini, perkimpoian
yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup.
Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan, misalnya
menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang perjalanan keluar
Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami, setiap
ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisa menghibur gejolak
hati masing-masing.
Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami
pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkimpoian, kembali
ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati yang saling mencintai
bertahun-tahun silam.
Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan, kata-kata ini telah
menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkimpoian. Keduanya akhirnya
melangkah ke jalan bahagia.
Kini, saya tahu kenapa perkimpoian ayah ibu tidak bisa bahagia, mereka terlalu
bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua, bukan
mencintai pasangannya dengan cara pihak kedua.
Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak dapat
merasakannya, akhirnya ketika menghadapi penantian perkimpoian, hati ini juga
sudah kecewa dan hancur.
Karena Tuhan telah menciptakan perkimpoian, maka menurut saya, setiap orang
pantas dan layak memiliki sebuah perkimpoian yang bahagia, asalkan cara yang
kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak kedua! Bukannya
memberi atas keinginan kita sendiri, perkimpoian yang baik, pasti dapat
diharapkan.